Untuk dapat
dipahami oleh para mahasiswa bahwa mata kuliah Pendidikan Agama Islam, hanya
diberikan atau didapat dalam satu semester dengan bobot 2 sks, dengan
menggunakan empat belas kali tatap muka. Setelah itu, hingga selesai kuliah tidak akan ada lagi,
kecuali belajar sendiri. Oleh karena itu, suatu yang sangat sulit bagi pengajar
untuk menentukan materi apa yang tepat harus diberikan, dengan asumsi bahwa
para mahasiswa telah mempunyai pengetahuan tentang ajaran Islam. Buku ini hanya
memuat atau membahas materi pokok yang ada dalam ajaran Islam. Pernyataan yang
dikemukakan oleh Dr. Kamaruddin Hidayat di bawah ini sangat membantu para
mahasiswa untuk memahami bagaimana caranya mempelajari dan memahami ajaran
Islam di Perguruan Tinggi.
Membicarakan
problem studi Islam di perguruan tinggi, setidaknya terdapat sebuah pertanyaan
yang perlu direnungkan bersama: adakah Islam dikaji sebagai obyek keilmuan
sebagaimana disiplin ilmu yang lain, ataukah Islam dijadikan rujukan pandangan
hidup ataupun akidah untuk mempelajari dan menjalani kehidupan? yang ideal
mestinya kedua aspek itu terintegrasikan menjadi satu pendekatan yang utuh
sekalipun pada prakteknya banyak kendala yang harus diselesaikan karena setiap
pilihan yang diambil akan berimplikasi pada metodelogi serta target akhir yang
hendak dicapainya.
Jika lembaga
perguruan tinggi didefenisikan sebagai lembaga riset keilmuan, maka pilihan
pertama akan lebih dahulu dikedepankan. Dan ini yang biasa dilakukan
diperguruan tinggi Barat. Hampir semua universitas bergensi di wilayah Amerika
Utara dan Eropa Barat semuanya mulai memperkenalkan Islamic Studies
sekalipun diantara mereka ada yang lebih senang memperggunakan istilah Middle
Eastern Studies, yang di dalamnya terdapat studi keislaman. Alasan mereka
adalah bahwa Islam dipandang sebagai fenomena budaya dan fenomena sejarah
sehingga sebagai obyek kajian ilmiah siapa saja bisa melakukan studi Islam
sekalipun bukan orang muslim. Oleh karenanya banyak buku-buku tentang Islam
yang ditulis oleh para ilmuwan Barat yang secara akademis memiliki bobot yang
tinggi.
Lalu, bagaimana
sebaiknya kebijakan dan strategi pendidikan Islam di perguruan tinggi? Di sini
terdapat dua kata yang memiliki konotasi berbeda. Pertama, kata pendidikan dan
kedua, perguruan tinggi. Selama ini wacana keilmuan di perguruan tinggi
lebih ditekankan pada pendekatan pengajaran ilmiah, sedangkan istilah
pendidikan lebih ditekankan pada jenjang sekolah di tingkat bawah. Tentu saja
aspek pendidikan dan pendidikan agama tidak bisa dipisah- pisahkan, sekalipun
dari sisi metode penyampaian dan berbagai asumsinya yang berkait memang
berbeda. Dengan demikian, pengajar agama Islam di perguruan tinggi dituntut
berijtihad menemukan metode yang tepat, bagaimana Islam diajarkan sebagai obyek
kajian ilmiah namun sekaligus mata kuliah Islam juga memiliki tugas pendidikan
untuk membantu mahasiswa tumbuh menjadi yang berakhlak mulia, relijius dan
memahami dasar-dasar ajaran Islam.
Mempertemukan dua tuntutan ini sangat
penting mengingat hampir di setiap diskusi dan pengajian selalu saja ada pertanyaan
tentang kenapa terjadi
kesenjangan yang begitu lebar
antara idealitas ajaran agama yang diyakini benar, hebat dan tinggi, dan di
sisi lain realitas perilaku para
pemeluknya yang seringkali bertentangan dengan ajaran agamanya. Bahkan
sekarang ini klaim
yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
relijius kehilangan validitasnya karena ternyata banyak sekali tragedi
sosial-politik yang sama sekali tidak mencerminkan ajaran agama yang menyerukan
pada perdamaian, pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia, kejujuran, amanah
dan lain sebagainya dari nilai luhur keagamaan. Kenyataan ini bagaimanapun juga
harus menjadi perhatian dan agenda pemikiran pengajar agama di perguruan tinggi
karena mahasiswa adalah calon sarjana yang memiliki peluang untuk mendudduki
lapisan menengah ke atas dalam masyarakat.
Kesenjangan
antara retorika dan ajaran agama yang
begitu ideal dan realitas sosial yang menyimpang akhir-akhir ini menjadi
sorotan kritik dan keluhan masyarakat sehingga citra dan wibawa agama – yang
tampilkan oleh ulama dan lembaganya menjadi turun. Sekedar contoh, Nabi
Muhammad saw pernah bersabda:
“Islam itu sangat tinggi, dan karenanya
tidak ada yang lebih tinggi darinya.”
Pernyataan ini
seringkali dikemukankan oleh para penceramah untuk menegaskan bahwa Islam itu
hebat dan tinggi sehingga bila terjadi penyelewengan dan kezaliman yang
dipersalahkan adalah para penganutnya, karena dianggap tidak memahami sekaligus
tidak mempraktekkan ajaran agamanya
secara benar. Sekilas
argumen tersebut memang mudah
diterima. Tetapi bila dikritik dan direnungkan, maka akan timbul pertanyaan:
jika ajaran Islam itu memang benar, hebat dan tinggi, tetapi ternyata tidak
mampu mempengaruhi para pemeluknya, lalu di mana pembuktian kebenaran,
kehebatan dan ketinggian ajarannya itu? Dan lagi di mana relevansi kebenaran
dan kehebatan ajaran Islam, jika tidak mampu mempengaruhi perilaku pemeluknya?
Inilah kira-kira salah satu problem dan
tantangan yang perlu oleh pengajar agama terutama di lingkungan perguruan
tinggi. Dan tampaknya problem tersebut diakibatkan antara lain oleh adanya oreientasi
pendidikan agama yang kurang
tepat untuk tidak menyebut keliru. Tiga hal yang bisa dikemukankan
sebagai indikator kekeliruan dimaksud ialah:
Pertama, pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang
ilmu agama. Karena itu tidak aneh kalau di negeri ini sering kita saksikan
seseorang yang banyak mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tapi perilakunya
tidak mencerminkan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya.
Kedua, tidak memiliki strategi penyusunan dan pemilihan materi-materi
pendidikan agama sehingga sering tidak ditemukan hal-hal yang prinsipil yang
seharusnya dipelajari lebih awal, malah terlewatkan. Kekacauan materi
pendidikan agama ini terlebih jelas lagi terlihat pada pemilihan disiplin ilmu
fikih yang dianggap sebagai puncak atau inti agama itu sendiri. Disebabkan oleh oreintasi pendidikan agama
semacam itu, maka Islam seakan diidentikan dengan paham fikih. Dan beragama
yang benar adalah bermazhab fikih
yang benar dan
yang diakui oleh
mayoritas, sehingga siapa saja yang sedikit berbeda dengan mazhab fikih
yang dianut mayoritas, maka dituduh menyimpang dari Islam. Alam pikiran semacam
ini masih terasa kuat di kalangan para mahasiswa perguruan tinggi Islam,
apalagi di perguruan tinggi umum.
Ketiga, kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam serta kurangnya penguasaan
semantic dan generik atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama
sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah sangat jauh dan berbeda dari
makna, spirit dan konteknya. Disiplim keilmuan dalam Islam sesungguhnya sudah
sangat kuat dan kaya. Dengan begitu, kalau saja pihak pengajar mampu menemukan
metode pengajaran yang tepat dengan ditopang oleh penguasaan materi keislaman,
maka sesungguhnya pengajaran dan pendidikan Islam menjadi kuliah yang menarik,
aktual dan hidup. Kontektualisasi dan reinterpretasi ajaran Islam adalah agenda
pemikiran Islam yang
selalu diperlukan pada
setiap zaman. Pendekatan terhadap Islam yang selama ini lebih bersifat
normative deduktif perlu dilengkapi dengan pendekatan induktif histories
sehingga mahasiswa bisa mebedakan mana ajaran Islam yang berupa produk sejarah
dan hasil ijtihad dan mana yang bersifat normative-doktrinal.
Setidaknya terdapat dua pendekatan yang menonjol dalam mempelajari Islam.
Pertama, mempelajari Islam untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama
yang benar. Disini aspek religiusitas dan spiritualitas menjadi sangat
penting, sehingga esensi ajaran agama bisa menginternalisasi ke dalam diri
pribadi-pribadi dalam aktivitas kesehariannya. OreintaƬ ini mengasumsikan
mahasiswa sebagai subyek yang aktif sehinggailmu agama disini mirip dengan ilmu
beladiri, ilmu olah raga, atau ilmu kesenian, bahwa belajar berarti memahami,
menghayati, dan mempraktekan. Dengan kata lain, ilmu agama itu bukanlah ilmu
yang hanya menitikberatkan pada teori tanpa aksi, tapi justru teori dan aksi
itu adalah hal yang tak terpisahkan. Untuk apa seseorang diajari teori berenang
dengan sangat luas dan mendalam, misalnya, sementara dia tidak mencintai dan
tidak bisa berenang? Orang yang demikian tetap akan dikatakan sebagai orang
tidak bisa berenang, meskipun semua teori tentang berenang sudah dikuasinya.
Demikian juga orang yang mempelajari ilmu dan teori-teori keberagamaan secara
luas dan mendalam, tapi dalam aksinya tidak menunjukkan relevansi dengan
pengetahuannya tersebut, maka orang itu akan dikatakan sebagai orang yang belum
bisa beragama.
Dalam rangka belajar beragama ini, konon diceritakan bahwa Kiai Haji Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berbulan-bulan lamanya hanya mengajarkan Surat
al-Ma’un (surat 107) kepada para muridnya. Padahal surat itu hanya terdiri dari
tujuh ayat pendek-pendek. Ketika muridnya sudah nyaris bosan karena setiap
belajar surat itu diulang-ulang, maka Kiai Ahmad Dahlan mengatakan, kita belum
bisa pindah ke ayat lain karena kita belum bisa mengamalkan isi surat ini. Kita
mengafal keutamaan menolong anak yatim tetapi kita belum pernah melaksanakan,
sama halnya kita paham akan ayat itu, Demikianlah, di sini terlihat bahwa Kiai
Ahmad Dahlan mengajarkan para muridnya untuk belajar beragama, bukan belajar
tentang agama.
Kedua, mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan. Pendekatan kedua ini
berkembang sangat pesat di Barat. Para peneliti dan pemikir yang memandang
bahwa Islam sebagai pengetahuan memang berbeda samangat dan metodologinya dari
mereka yang mendekati Islam sebagai keyakinan yang telah dianutnya secara
militan. Dari sudut pandang akademis mungkin saja mereka lebih jauh menguasai
Islam dari pada para kaia yang mengajarkan dan mengamalkannya dari lingkungan
pasanteren.
Dalam hal orientasi pendidikan, kedua pendekatan di atas tampaknya perlu
terus mendapat perhatian yang serius, sehingga tidak saja terjadi peningkatan
pengamalan religiusitas di kalangan para penganut Islam, melainkan juga terjadi
peningkatan keilmuan Islam. Dua pendekatan di atas karenanya mesti menjadi
orientasi pendidikan Islam terutama di perguruan tinggi. Dalam hal orientasi
pendidikan ini, perlu ditambahkan orientasi lainnya, yaitu upaya gerakan
kembali pada Alquran dengan pendekatan yang lebih ilmiah dan multidisipliner.
Karena itu perlu dipertimbangkan tiga aspek berikut ini.
Pertama, membebaskan diri kita dari hegomoni makna atas sejarah masa lalu kaum
muslim. Ini tidak berarti aspek sejarah Islam ditolak, tetapi bagaimana
mensikapi sejarah secara kritis dan apresiatif karena sejarah tetap merupakan
salah satu sumber pengetahuan yang harus dikuasai dan terus digali. Namun
begitu sejarah jangan sampai memenjarakan kebebasan dan kedinamisan serta
kreatifitas kaum muslim.
Kedua, membaca dan memahami ayat-ayat Alquran serta menggali konteks social
histories yang melatar belakanginya dengan mempertimbangkan berbagai macam
gejala cultural, politis dan antropologis. Dengan pendekatan ini diharapkan
kita lebih bisa menangkap pesan dasar Alquran dan mengartikulasikan kembali
dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda.
Ketiga, menganalisa setiap ayat Alquran yang hendak dijadikan pedoman dalam
bertindak dengan menangkap dimensi etisnya, jangan hanya aspek legal-formalnya.
Kembali pada Alquran dan al Sunnah pada giliranya kembali pada etika
sebagai rujukan hidup kita bermasyarakat dan bernegara. Sebab itu, meskipun di
antara kita telah bersama-sama berpegang pada Alquran, tetapi kita masih
menemukan perbedaan pendapat soal hukum, maka seseorang yang berpegang pada
etika akan tetap menjaga persaudaraan, kehormatan masing-masing dan akan
mengutamakan tujuan yang lebih pokok demi kepentingan-kepentingan banyak orang.
Sebab, kembali pada Alquran tidak berarti meniadakan perbedaan di antara umat
karena perbedaan merupakan dinamika sejarah yang tidak mungkin bisa dihapuskan.
Kenyataan adanya sekian banyak mazhab dalam pemikiran Islam, baik dalam bidang
fikih, filsafat, ilmu kalam dan tasawuf kesemuanya itu anak kandung peradaban
Islam yang memiliki landasan pemahaman atas Alquran.
Catatan akhir, yaitu perlunya menyusun dan memilih kembali materi-materi
pendidikan agama yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan siswa/mahasiswa.
Misalnya, pada semester ke berapa pendidikan Islam diajarkan di perguruan
tinggi? Memperhatikan yang terjadi saat ini, pelajaran agama dari mulai tingkat
dasar, menengah hingga atas bahkan perguruan tinggi selalu saja masih banyak
didominasi oleh materi pelajaran fikih. Padahal semestinya di perguruan tinggi
itu para mahasiswa mulai berbicara pada tingkat wawasan yang bertujuan pada
peningkatan penalaran yang analitis, komporatif, dan bila perlu melahirkan
keputusan-keputusan baru yang bersifat preskriptif bagi tindakan kaum muslim di
zaman kini. Kalau tidak, maka aspek ini akan banyak diambil alih oleh
kelompok-kelompok studi, remaja masjid, dan organisasi-organisasi
kemahasiswaan.
Pembinaan intelektualitas dan spiritualitas Islam bagi para mahasiswa yang
terjadi di luar kampus tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak mahasiswa
memperoleh kematangan berpikir, wawasan keislaman dan ketrampilan berorganisasi
justru dari kegiatan-kegiatan ekstra di luar kampus. Peran organisasi remaja
masjid, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan organisasi lainnya terbukti
sangat kontributif dalam menciptakan iklim intelektualitas di kalangan
mahasiswa. Tidak aneh karenanya jika terdapat sebagian perguruan tinggi yang
memilih calon-calon tenaga pengajar dan pegawai administrasinya yang membawa
surat rekomendasi dari lembaga atau organisasi ekstra dan kelompok-kelompok
belajar mahasiswa. Alasannya karena mereka dinilai lebih matang kepribadiannya,
lebih terampil kerjanya, dan lebih dedikatif menjalankan tugasnya.
Melalui
kelompok-kelompok studi intensif yang digelar dan dikerjakan oleh para aktivis
mahasiswa telah mendorong munculnya iklim intelektualitas Islam di
kampus-kampus. Belum lagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang kini
bermunculan sangat banyak. Tentu saja, semua ini perlu diteliti secara ilmiah
tentang kebenarannya. Tapi hipotesa sementara demikianlah adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar